Nyanyian Dan Musik Dalam Islam | Monday, January 31, 2005
Nyanyian Dan Musik Dalam Islam
Hati bagaikan seorang raja atau panglima perang yang mengawasi prajurit dan tentaranya. Dari hatilah bersumber segala perintah terhadap anggota badan.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda :
Ketahuilah bahwa dalam tubuh ini terdapat segumpal daging. Jika ia baik maka baik pula seluruh tubuh ini. Dan sebaliknya apabila ia rusak maka rusak pula seluruh tubuh ini. (HR. Bukhari 1/126 dan 4/290-Al Fath, Muslim 1599 dari Numan bin Basyir radliyallahu anhuma)
Seandainya kita mencermati kenyataan yang ada, akan jelas bagi kita bahwa nyanyian dan musik itu menghalangi hati dari (memperhatikan dan memahami) Al Quran. Bahkan keduanya mendorong untuk terpesona menatap kefasikan dan kemaksiatan. Oleh sebab itulah sebagian ulama menyebutkan nyanyian dan musik-musik ini bagaikan quran-nya syaithan atau tabir yang menghalangi seseorang hamba dari Ar Rahman. Sebagian mereka menyerupakannya dengan mantera yang menggiring orang melakukan perbuatan liwath (homoseks atau lesbian) dan zina.
Kalaupun mereka mendengar Al Quran (dibacakan), tidaklah berhenti gerak mereka dan ayat-ayat itu tidak berpengaruh bagi perasaannya. Sebaliknya apabila dilantunkan sebuah lagu niscaya akan masuklah nyanyian itu dengan segera ke dalam pendengarannya, terbesit dari kedua matanya ungkapan perasaannya, kakinya bergoyang-goyang, menghentak-hentak ke lantai, tangannya bertepuk gembira, dan tubuhnya meliuk menari-nari, api syahwat kerinduan dalam dirinya pun memuncak.
Hendaknya ini menjadi perhatian kita. Adakah pernah timbul rasa rindu ketika kita mendengar ayat-ayat Al Quran dibacakan? Pernahkah muncul perasaan (haru dan tunduk atau khusyu) yang dalam saat kita membacanya? Coba bandingkan tatkala kita mendengarkan nyanyian dan alat musik!
Alangkah indahnya apa yang diungkapkan oleh seorang penyair :
Ketika dibacakan Al Kitab (Al Quran), mereka terpaku, namun bukan karena takut. Mereka terpaku seperti orang yang lupa dan lalai. Ketika nyanyian menghampiri, mereka berteriak bagai keledai. Demi Allah, tidaklah mereka menari karena Allah.
Namun, kita tidak perlu berduka cita karena senantiasa dan akan terus ada orang-orang yang Allah bangkitkan di tengah-tengah manusia untuk membela dan menyelamatkan umat dengan nasihat-nasihat berharga agar tidak tertipu oleh penyimpangan yang dikerjakan oleh sebagian orang.
Dan alhamdulillah, kita telah pula diberi kesempatan oleh Allah untuk memperoleh warisan mereka berupa karya-karya yang tak terbilang jumlahnya yang sarat dengan hujjah dan dalil yang amat jelas dan gamblang bagi mereka yang mendapat taufik dari Allah taala.
Dan tulisan ini akan mengungkapkan sebagian keterangan para imam pembawa petunjuk tentang jeleknya nyanyian dan musik bagi mereka yang masih menginginkan hatinya selamat, hidup, dan bercahaya sampai ia menemui Rabbnya nanti. Karena hanya itulah bekal yang bermanfaat baginya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Taala :
(Yaitu) pada hari yang tidak berguna harta dan anak-anak kecuali orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang selamat. (Asy Syuara : 88-89)
Pengertian Al Ghina dan Al Maazif
Imam Ahmad Al Qurthubi menyatakan dalam Kasyful Qina halaman 47 : Al ghina secara bahasa adalah meninggikan suara ketika bersyair atau yang semisal dengannya (seperti rajaz secara khusus). Di dalam Al Qamus (halaman 1187), al ghina dikatakan sebagai suara yang diperindah.
Imam Ahmad Al Qurthubi melanjutkan bahwa sebagian dari imam-imam kita ada yang menceritakan tentang nyanyian orang Arab berupa suara yang teratur tinggi rendah atau panjang pendeknya, seperti al hida’, yaitu nyanyian pengiring unta dan dinamakan juga dengan an nashab (lebih halus dari al hida). (Lihat Kasyful Qina oleh Imam Ahmad Al Qurthubi 47 dan Al Qamus halaman 127)
Al maazif adalah jamak dari mizaf.
Dalam Al Muhieth halaman 753, kata ini diartikan sebagai al malahi (alat-alat musik dan permainan-permainan), contohnya al ‘ud (sejenis kecapi), ath thanbur (gitar atau rebab). Sedangkan dalam An Nihayah diartikan dengan duf-duf.
Dikatakan pula al azif artinya al mughanni (penyanyi) dan al la ibu biha (yang memainkannya). (Tahrim alath Tharb, Syaikh Al Albani halaman 79)
Ibnul Qayyim dalam Mawaridul Aman halaman 330 menyatakan bahwa al maazif adalah seluruh alat musik atau permainan. Dan ini tidak diperselisihkan lagi oleh ahli-ahli bahasa.
Imam Adz Dzahabi dalam As Siyar 21/158 dan At Tadzkirah 2/1337 memperjelas definisi ini dengan mengatakan bahwa al maazif mencakup seluruh alat musik maupun permainan yang digunakan untuk mengiringi sebuah lagu atau syair. Contohnya : Seruling, rebab, simpal, terompet, dan lain-lain. (Lihat Tahrim alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 79)
Bentuk-Bentuk Dan Jenis Al Ghina
Dengan definisi yang telah disebutkan ini, para ulama membagi al ghina menjadi dua kelompok :
Nyanyian yang pertama, seperti yang sering kita temukan dalam berbagai aktivitas manusia sehari-hari, dalam perjalanan, pekerjaan mengangkut beban, dan sebagainya. Sebagian di antara mereka ada yang menghibur dirinya dengan bernyanyi untuk menambah gairah dan semangat (kerajinan), menghilangkan kejenuhan, dan rasa sepi.
Contoh yang pertama ini di antaranya al hida, lagu yang dinyanyikan oleh sebagian kaum wanita untuk menenangkan tangis dan rengekan buah hati mereka atau nyanyian gadis-gadis kecil dalam sendau gurau dan permainan mereka, wallahu alam. (Kaffur Ria halaman 59-60, Kasyful Qina halaman 47-49)
Disebutkan pula oleh sebagian ulama bahwa termasuk yang pertama ini adalah selamat atau bersih dari penyebutan kata-kata yang keji, hal-hal yang diharamkan seperti menggambarkan keindahan bentuk atau rupa seorang wanita, menyebut sifat atau nama benda-benda yang memabukkan. Bahkan sebagian ulama ada pula yang menganggapnya sebagai sesuatu yang dianjurkan (mustahab) apabila nyanyian itu mendorong semangat untuk giat beramal, menumbuhkan hasrat untuk memperoleh kebaikan, seperti syair-syair ahli zuhud (ahli ibadah) atau yang dilakukan sebagian shahabat, seperti yang terjadi dalam peristiwa Khandaq :
Ya Allah, jika bukan karena Engkau tidaklah kami terbimbing. Dan tidak pula bersedekah dan menegakkan shalat. Maka turunkanlah ketenangan kepada kami. Dan kokohkan kaki kami ketika menghadapi musuh.
Dan yang lain, misalnya :
Jika Rabbku berkata padaku. Mengapa kau tidak merasa malu bermaksiat kepada-Ku. Kau sembunyikan dosa dari makhluk-Ku. Tapi dengan kemaksiatan kau menemui Aku.
Imam Ahmad Al Qurthubi dalam Kasyful Qina halaman 48 yang menyebutkan bahwa yang seperti ini termasuk nasihat yang berguna dan besar ganjarannya.
Demikian pula yang dikatakan Imam Al Mawardi bahwa syair-syair yang diungkapkan oleh orang-orang Arab lebih disukai apabila syair itu mampu menumbuhkan rasa waspada terhadap tipuan atau rayuan dunia, cinta kepada akhirat, dan mendorong kepada akhlak yang mulia. Kesimpulannya, syair seperti ini boleh jika selamat atau bebas dari kekejian dan kebohongan. (Kaffur Ria halaman 50)
Nyanyian di kalangan orang Arab waktu itu seperti al hida, an nashbur, dan sebagainya yang biasa mereka lakukan tidak mengandung sesuatu yang mendorong keluar dari batas-batas yang telah ditentukan. (Lihat Muntaqa Nafis min Talbis Iblis oleh Syaikh Ali Hasan halaman 290)
Nyanyian yang kedua, seperti yang dilakukan para biduwan atau biduwanita (para penyanyi, artis, pesinden, dan sebagainya) yang mengenal seluk beluk gubahan (nada dan irama) suatu lagu, dari rangkaian syair, kemudian mereka dendangkan dengan nada atau irama yang teratur, halus, lembut, dan menyentuh hati, membangkitkan gejolak nafsu, serta menggairahkannya.
Nyanyian seperti (yang kedua) inilah yang sesungguhnya diperselisihkan para ulama, sehingga mereka terbagi dalam tiga kelompok, yaitu : Yang mengharamkan, memakruhkan, dan yang membolehkan. (Kasyfu Qina halaman 50)
Hujjah Dan Dalil Kelompok Yang Mengharamkan Dan Memakruhkan
Senantiasa akan ada di kalangan umat ini segelintir orang yang menegakkan Islam, menasihati umat agar tetap berpegang dengan Al Quran dan As Sunnah sesuai dengan yang dipahami oleh para shahabat, tabiin, dan pengikut-pengikut mereka serta imam-imam pembawa petunjuk.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
Senantiasa akan ada segolongan dari umatku menampakkan al haq, tidak membahayakan mereka orang-orang yang menghinakan mereka dan menyelisihi mereka sedang mereka teguh di atasnya. (HR. Bukhari 7311 dan Muslim 170, 1920 dan Abu Dawud 4772 dan At Tirmidzi 1418, 1419, 1421)
Dan mereka dengan lantang menyeru tanpa takut terhadap celaan para pencela.
Dalil-Dalil Dari Al Qur'an
1. Firman Allah Ta'ala :
Dan di antara manusia ada yang membeli (menukar) lahwal hadits untuk menyesatkan orang dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya ejekan, bagi mereka siksa yang menghinakan. (QS. Luqman : 6)
Al Wahidi dalam tafsirnya menyatakan bahwa kebanyakan para mufassir mengartikan lahwal hadits dengan nyanyian.
Penafsiran ini disebutkan oleh Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu. Dan kata Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya, Jami Ahkamul Quran, penafsiran demikian lebih tinggi dan utama kedudukannya. Hal itu ditegaskan pula oleh Imam Ahmad Al Qurthubi, Kasyful Qina halaman 62, bahwa di samping diriwayatkan oleh banyak ahli hadits, penafsiran itu disampaikan pula oleh orang-orang yang telah dijamin oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dengan doa beliau :
Ya Allah, jadikanlah dia (Ibnu Abbas) faham terhadap agama ini dan ajarkanlah dia tawil (penafsiran Al Quran). (HR. Bukhari 4/10 dan Muslim 2477 dan Ahmad 1/266, 314, 328, 335)
Dengan adanya doa ini, para ulama dari kalangan shahabat memberikan gelar kepada Ibnu Abbas dengan Turjumanul Quran (penafsir Al Quran).
Juga pernyataan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tentang Ibnu Masud :
Sesungguhnya ia pentalkin[1] yang mudah dipahami. (Kasyfu Qina’ halaman 62)
Ibnu Masud menerangkan bahwa lahwul hadits itu adalah al ghina. Demi Allah, yang tiada sesembahan yang haq selain Dia, diulang-ulangnya tiga kali.
Riwayat ini shahih dan telah dijelaskan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Tahrim alath Tharb halaman 143.
Demikian pula keterangan Ikrimah dan Mujahid.
Al Wahidi dalam tafsirnya (Al Wasith 3/411) menambahkan : Ahli Ilmu Ma'ani menyatakan, ini termasuk semua orang yang cenderung memilih permainan dan al ghina (nyanyian), seruling-seruling, atau alat-alat musik daripada Al Quran, meskipun lafadhnya dengan kata al isytira, sebab lafadh ini banyak dipakai dalam menerangkan adanya penggantian atau pemilihan. (Lihat Tahrim alath Tharb halaman 144-145)
2. Firman Allah ta'ala :
Dan hasunglah siapa saja yang kau sanggupi dari mereka dengan suaramu. (QS. Al Isra : 65)
Ibnu Abbas mengatakan bahwa suaramu dalam ayat ini artinya adalah segala perkara yang mengajak kepada kemaksiatan. Ibnul Qayyim menambahkan bahwa al ghina adalah da'i yang paling besar pengaruhnya dalam mengajak manusia kepada kemaksiatan. (Mawaridul Aman halaman 325)
Mujahid dalam kitab yang sama-- menyatakan suaramu di sini artinya al ghina (nyanyian) dan al bathil (kebathilan). Ibnul Qayyim menyebutkan pula keterangan Al Hasan Bashri bahwa suara dalam ayat ini artinya duff (rebana), wallahu alam.
3. Firman Allah ta'ala :
Maka apakah terhadap berita ini kamu merasa heran. Kamu tertawa-tawa dan tidak menangis? Dan kamu bernyanyi-nyanyi? (QS. An Najm : 59-61)
Kata Ikrimah --dari Ibnu Abbas, as sumud artinya al ghina menurut dialek Himyar. Dia menambahkan : Jika mendengar Al Quran dibacakan, mereka bernyanyi-nyanyi, maka turunlah ayat ini.
Ibnul Qayyim menerangkan bahwa penafsiran ini tidak bertentangan dengan pernyataan bahwa as sumud artinya lalai dan lupa. Dan tidak pula menyimpang dari pendapat yang mengatakan bahwa arti kamu bernyanyi-nyanyi di sini adalah kamu menyombongkan diri, bermain-main, lalai, dan berpaling. Karena semua perbuatan tersebut terkumpul dalam al ghina (nyanyian), bahkan ia merupakan pemicu munculnya sikap tersebut. (Mawaridul Aman halaman 325)
Imam Ahmad Al Qurthubi menyimpulkan keterangan para mufassir ini dan menyatakan bahwa segi pendalilan diharamkannya al ghina’ adalah karena posisinya disebutkan oleh Allah sebagai sesuatu yang tercela dan hina. (Kasyful Qina halaman 59)
Dalil-Dalil Dari As Sunnah
1. Dari Abi Amir Abu Malik Al Asyari, dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam beliau bersabda :
Sungguh akan ada di kalangan umatku suatu kaum yang menganggap halalnya zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik (HR. Bukhari 10/51/5590-Fath)
2. Dari Abi Malik Al Asyari dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam beliau bersabda :
Sesungguhnya akan ada sebagian manusia dari umatku meminum khamr yang mereka namakan dengan nama-nama lain, kepala mereka bergoyang-goyang karena alat-alat musik dan penyanyi-penyanyi wanita, maka Allah benamkan mereka ke dalam perut bumi dan menjadikan sebagian mereka kera dan babi. (HR. Bukhari dalam At Tarikh 1/1/305, Al Baihaqi, Ibnu Abi Syaibah dan lain-lain. Lihat Tahrim alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 45-46)
3. Dari Anas bin Malik berkata :
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda :
Dua suara terlaknat di dunia dan di akhirat :Seruling-seruling (musik-musik atau nyanyian) ketika mendapat kesenangan dan rintihan (ratapan) ketika mendapat musibah. (Dikeluarkan oleh Al Bazzar dalam Musnad-nya, juga Abu Bakar Asy Syafii, Dliya Al Maqdisy, lihat Tahrim alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 51-52)
4. Dari Abdurrahman bin Auf ia berkata : Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda :
Sesungguhnya saya tidak melarang (kamu) menangis, tapi saya melarangmu dari dua suara (yang menunjukkan) kedunguan dan kejahatan, yaitu suara ketika gembira, yaitu bernyanyi-nyanyi, bermain-main, dan seruling-seruling syaithan dan suara ketika mendapat musibah, memukul-mukul wajah, merobek-robek baju, dan ratapan-ratapan syaithan. (Dikeluarkan oleh Al Hakim, Al Baihaqi, Ibnu Abiddunya, Al Ajurri, dan lain-lain, lihat Tahrim alath Tharb halaman 52-53)
5. Dari Ibnu Abbas, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda :
Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bagiku atau mengharamkan khamr, judi, al kubah (gendang), dan seluruh yang memabukkan haram. (HR. Abu Dawud, Al Baihaqi, Ahmad, Abu Yala, Abu Hasan Ath Thusy, Ath Thabrani dalam Tahrim alath Tharb halaman 55-56)
6. Dari Imran Hushain ia berkata : Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda :
Akan terjadi pada umatku, lemparan batu, perubahan bentuk, dan tenggelam ke dalam bumi. Dikatakan : Ya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, kapan itu terjadi? Beliau menjawab : Jika telah tampak alat-alat musik, banyaknya penyanyi wanita, dan diminumnya khamr-khamr. (Dikeluarkan oleh Tirmidzi, Ibnu Abiddunya, dan lain-lain, lihat Tahrim alath Tharb halaman 63-64)
7. Dari Nafi maula Ibnu Umar, ia bercerita bahwa Ibnu Umar pernah mendengar suara seruling gembala lalu (Umar) meletakkan jarinya di kedua telinganya dan pindah ke jalan lain dan berkata : Wahai Nafi apakah engkau mendengar? Aku jawab : Ya.Dan ia terus berjalan sampai kukatakan tidak. Setelah itu ia letakkan lagi tangannya dan kembali ke jalan semula. Lalu beliau berkata :
Kulihat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam mendengar suling gembala lalu berbuat seperti ini. (Dikeluarkan oleh Abu Dawud 4925 dan Baihaqi 10/222 dengan sanad hasan)
Imam Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis (Muntaqa Nafis halaman 304) mengomentari hadits ini sebagai berikut : Jika seperti ini yang dilakukan mereka terhadap suara-suara yang tidak menyimpang dari sikap-sikap yang lurus, maka bagaimanakah dengan nyanyian dan musik-musik orang jaman sekarang (jaman beliau rahimahullah, apalagi di jaman kita, pent.)?
Dan Imam Ahmad Al Qurthubi dalam Kasyful Qina halaman 69 menyatakan : bahwa pendalilan dengan hadits-hadits ini dalam mengatakan haramnya nyanyian dan alat-alat musik, hampir sama dengan segi pendalilan dengan ayat-ayat Al Quran. Bahkan dalam hadits-hadits ini disebutkan lebih jelas dengan adanya laknat bagi penyanyi maupun yang mendengarkanya.
Di dalam hadits pertama, Imam Al Jauhari menyatakan bahwa dalam hadits ini, digabungkannya penyebutan al maazif dengan khamr, zina, dan sutera menunjukkan kerasnya pengharaman terhadap alat-alat musik dan sesungguhnya semua itu termasuk dosa-dosa besar. (Kasyful Qina halaman 67-69)
Atsar Ulama Salaf Ibnu Masud menyebutkan : Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati seperti air menumbuhkan tanaman. Ini dikeluarkan oleh Ibnu Abiddunya dan dikatakan shahih isnadnya oleh Syaikh Al Albani dalam Tahrim alath Tharb (halaman 145-148), ucapan seperti ini juga dikeluarkan oleh Asy Syabi dengan sanad yang hasan.
Dalam Al Muntaqa halaman 306, Ibnul Jauzi menyebutkan pula bahwa Ibnu Masud berkata : Jika seseorang menaiki kendaraan tanpa menyebut nama Allah, syaithan akan ikut menyertainya dan berkata, bernyanyilah kamu! Dan apabila ia tidak mampu memperindahnya, syaithan berkata lagi : Berangan-anganlah kamu (mengkhayal)(Dikeluarkan oleh Abdul Razzaq dalam Al Mushannaf 10/397 sanadnya shahih)
Pada halaman yang sama beliau sebutkan pula keterangan Ibnu Umar ketika melewati sekelompok orang yang berihram dan ada seseorang yang bernyanyi, ia berkata : Beliau berkata : Ketahuilah, Allah tidak mendengarkanmu! Dan ketika melewati seorang budak perempuan bernyanyi, ia berkata : Jika syaithan membiarkan seseorang, tentu benar-benar dia tinggalkan budak ini.
MyQuran dot Com Net Org
*************************
Created at 6:55 AM
*************************
Hukum Musik Dalam Islam
Assalamu alaikum Wr. Wb.
Tentang hukum musik sendiri, memang para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkannya secara total, bahkan di dalam kitab-kitab fiqih pun masih sering kita dapati keterangan bahwa berjual-beli alat musik itu hukumnya haram. Namun ada juga yang memakruhkan saja tanpa mengharamkan. Dan ada pula yang menghalalkannya selama alat musik itu hanya berupa alat musik pukul (perkusi). Tentu saja masing-masing datang dengan dalil yang dianggap paling kuat.
Tetapi satu hal yang perlu dicermati, di dunia Islam sepanjang sejarah tidak tercatat prestasi yang menonjol dalam dunia seni musik. Hal ini kontras dengan bidang seni lainnya yang sangat menonjol dan populer termasuk di dunia barat seperti syair, puisi, prosa, roman dan lainnya. Kita juga tidak terlalu sering menemukan adanya tokoh seni musik dalam dunia Islam. Sementara ribuan tokoh besar muslim di luar dunia musik menghiasi ensiklopedi tokoh dunia.
Namun kalau pun ada sebagian ulama yang menghalalkan musik dengan syarat tertentu, tidak berarti kita harus memperioritaskan pendidikan musik buat anak. Sebab alangkah lebih baiknya kalau yang diperdengarkan itu adalah kalamullah berupa bacaan Al-Quran Al-Kariem, hingga kalimat-kalimat suci itulah yang akan tergores di dalam memori anak. Juga ada ribuan hadits yang bisa diprogram ke dalam otak anak Anda ketimbang diisi dengan musik.
Sering Terkecoh Bukan karena antipati, tetapi realitanya memang bangsa-bangsa muslim seperti kita ini sering terkecoh dengan asumsi dan teori-teori yang datang dari barat begitu saja. Padahal apa yang diklaim sebagai penemuan ilmiyah ternyata masih berupa teori belaka. Atau baru ditingkat penelitian yang terlalu dini untuk bisa disimpulkan sebagai sebuah kebenaran yang pasti.
Termasuk salah satunya tentang stimulus musik pada kecerdasan bayi/anak. Padahal di barat sendiri, tidak semua pihak menyetujui teori itu. Ada banyak buku yang intinya mengkounter semua teori tentang pendidikan musik buat anak, yang katanya bisa menambah kecerdasan otak. Dan secara kenyataan, perlu juga dipertimbangkan dari sisi realita. Misalnya, dari sekian banyak jenius di dunia, yang pada masa kecilnya pernah disekolahkan musik itu berapa orang? Dan sebaliknya, ada jutaan orang yang dulunya pernah diperdengarkan musik, tapi sekarang tidak menjadi cerdas dan menonjol.
Sehingga teori ini masih harus dibuktikan dulu secara empiris, sebelum diyakini sebagai sebuah `aqidah` yang dianggap tidak punya kekurangan. Sikap kritis dalam dunia ilmu pengetahuan sendiri bukan hal yang aneh, bahkan sudah menjadi pondasi dasar.
Logika Syariah Dan dari sisi logika syariah, seandainya memperdengarkan musik klasik buat anak itu akan memberikan kecerdasan atau kelebihan tertentu yang positif dan penting buat anak, seharusnya kita mendapat dalil bahwa Rasulullah SAW pernah menganjurkannya. Padahal Al-Quran adalah kitab yang menjadi petunjuk dan sumber kebenaran.
Bahkan kita pun tidak mendengar hal itu dari perkataan para ulama dan pakar dari kalangan muslim. Justru sebaliknya, tidak satu pun dalil dalam Al-Quran dan Sunnah yang memerintahkan, bahkan sekedar menganjurkannya pun juga tidak. Kecenderungan yang ada justru anjuran untuk menjauhkan diri dari musik.
Maka kita perlu mempertimbangkan sekali lagi pilihan kita sebelum terburu-buru memutuskan. Apakah teori barat itu selalu benar, ataukah kita yang terlalu `latah` ikut-ikutan? Jawabannya ada pada diri kita sendiri.
Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
Ahmad Sarwat
eramoslem.com
*************************
Created at 6:47 AM
*************************
|
|
welcome
hello
MENU
HOME
Cinta Ku
Cinta - Al- Qur'an & Hadist
Cinta - Artikel
Cinta - Berita
Cinta - Busana & Perkawinan
Cinta - Cerita
Cinta - Doa
Cinta - Kecantikan
Cinta - Kesehatan
Cinta - Liputan Khusus
Cinta - Masakan & Minuman
Cinta - Musik
Cinta - Muslimah
Cinta - Puisi
Cinta - Rukun Iman & Islam
Links
Archieve
January 2005[x] September 2005[x]
|
|